Oleh: Nendi Runendi
(Pemerhati Pendidikan dan Keluarga, Mitra Advokasi Sosial YLBH Pojok Kesetaraan Masyarakat.
Di tengah pesatnya pembangunan infrastruktur di Jawa Barat, kita menyaksikan wajah sosial yang mulai retak dari dalam: meningkatnya angka perceraian. Fenomena ini bukan hanya perkara hukum rumah tangga, tetapi menjadi persoalan sosiologi dan psikologi pendidikan yang menggerogoti akar peradaban kita.
Perceraian, dalam kacamata sosial, adalah gempa sunyi yang mengguncang struktur keluarga — unit terkecil dari bangsa. Ketika ayah dan ibu saling menjauh, anak kehilangan figur kehangatan dan teladan moral. Gangguan psikologis seperti kecemasan, rendah diri, hingga perilaku menyimpang muncul bukan karena genetik, tapi karena retaknya rasa aman dan kasih sayang.
Dampaknya tidak berhenti di rumah: ia merembet ke ruang kelas, ke motivasi belajar, ke relasi sosial. Anak yang hidup dalam trauma emosional cenderung sulit fokus, mudah marah, dan kehilangan semangat. Dalam skala makro, hal ini berimbas pada penurunan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), karena kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh stabilitas emosional dan dukungan keluarga.
Maka pembangunan fisik tanpa keseimbangan pembangunan jiwa hanya melahirkan masyarakat yang kokoh di luar, namun rapuh di dalam. Pembangunan sejati ialah ketika jalan dibuka, tetapi hati juga disembuhkan; ketika jembatan dibangun, tapi juga menghubungkan kembali kasih dan tanggung jawab antar-manusia.
Sebagaimana pepatah Sunda berkata:
“Nu ngagedur hate, moal nyorang bagja.”
Orang yang menyimpan dendam takkan pernah mencapai bahagia.
Mari bangun kembali keluarga dan pendidikan dengan cinta, bukan gengsi. Sebab anak-anak kita bukan hanya penerus, tapi juga cermin dari apa yang kita rawat — atau kita abaikan.




 
							





