Cianjur — BicaraNews.id & Kabar Rakyat Nasional
Di tengah upaya peningkatan transparansi publik, masih banyak desa di berbagai wilayah Jawa Barat yang belum berani menayangkan laporan penggunaan dana desa atau cash flow secara terbuka. Padahal, hal ini menjadi kunci penting untuk mencegah kesalahpahaman, kecurigaan, dan tudingan penyalahgunaan anggaran di tingkat akar rumput.
Menurut Ketua BICARA CIANJUR ,Nendi Runedi, S.H, keterbukaan bukan sekadar formalitas administratif, tetapi bentuk penghormatan terhadap rakyat sebagai pemilik sah dana publik.
“Transparansi itu bukan aib, tapi tanda kematangan moral pemerintahan. Desa yang berani membuka anggarannya kepada rakyatnya akan melahirkan rasa percaya dan gotong royong sosial,” ujar Bedi dalam diskusi lapangan di Cianjur, Senin (20/10).
Dasar Hukum yang Wajib Diketahui
Kewajiban keterbukaan informasi keuangan desa telah diatur dalam:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 82, yang menegaskan hak masyarakat memperoleh informasi dan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa.
Permendagri No. 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, Pasal 27 huruf (b), yang mewajibkan desa menginformasikan rencana dan pelaksanaan APBDes.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Dengan demikian, tidak ada alasan hukum bagi desa untuk menutup laporan penggunaan dana publik. Dana yang diterima melalui rekening kas desa harus dikelola secara terbuka dan dipertanggungjawabkan di hadapan masyarakat.
Budaya Ketakutan Masih Mengakar
Secara sosiologis, banyak perangkat desa masih terjebak dalam budaya “takut salah”. Mereka cenderung menutup diri karena khawatir dikritik, padahal justru keterbukaan dapat melindungi dari prasangka dan potensi pelanggaran.
Selain itu, rendahnya literasi keuangan dan digital membuat sebagian aparat kesulitan menyusun laporan cash flow yang komunikatif. Di sisi lain, masih ada faktor kepentingan pribadi atau kelompok yang mempertahankan ketertutupan demi kenyamanan semu.
“Kita harus berani memutus budaya takut diawasi. Pengawasan itu bukan musuh, tapi tanda cinta rakyat kepada pemerintahnya,” lanjut Bedi.
Refleksi dan Solusi
Para pemerhati desa menilai, solusi sederhana dapat dilakukan melalui:
Penayangan papan informasi APBDes dan realisasi bulanan di balai desa.
Publikasi kegiatan desa melalui kanal digital seperti Facebook atau website resmi.
Pelibatan BPD dan masyarakat dalam memantau penggunaan dana desa.
Penghargaan moral bagi desa yang berani transparan.
Dalam nilai-nilai Sunda, keterbukaan dianggap bagian dari silih asah, silih asih, silih asuh — saling mengasah pengetahuan, mengasihi sesama, dan mengasuh kebijakan agar tidak melenceng dari keadilan.
“Lamun jujur téh jadi cahya, lamun kabuka téh jadi kaca.”
(Kejujuran itu cahaya, keterbukaan itu cermin.)
Edukasi Publik
Dengan keterbukaan keuangan, masyarakat desa dapat memahami perputaran anggaran, menumbuhkan literasi fiskal, serta menghindari sikap curiga tanpa dasar. Pada akhirnya, desa yang terbuka akan menjadi desa yang kuat — baik dalam moral, hukum, maupun kesejahteraan.




 
							





