Pagi ini, sebelum matahari sempurna naik, mari kita bercermin sejenak:
sudahkah pendidikan kita benar-benar membangunkan kesadaran,
atau sekadar membangunkan rutinitas?
Di ruang-ruang kelas, ribuan anak duduk berseragam rapi.
Mereka menatap papan tulis, tetapi apakah hati mereka ikut hadir?
Sebab belajar bukan hanya soal membaca buku,
melainkan membaca makna hidup.
Kita sering bangga berkata: “Sekolah kita lengkap, kurikulum kita modern.”
Namun, apakah ruh anak-anak kita ikut tumbuh?
Apakah guru masih dipercaya sebagai penuntun jiwa,
atau sekadar pegawai yang menunggu laporan dan angka tunjangan?
Pendidikan sejati seharusnya menyalakan kesadaran —
bahwa kecerdasan tanpa karakter hanyalah kekosongan yang berpengetahuan.
Kita tidak sedang mencetak manusia yang pandai menjawab soal,
tetapi manusia yang mampu menjawab kehidupan.
Hari ini, mari kita jujur:
terlalu banyak perhatian tersedot pada administrasi, bukan pada nurani.
Dana bantuan dan fasilitas penting,
tapi jangan sampai menggantikan nilai doa, kesungguhan, dan tanggung jawab.
Anak-anak butuh teladan yang hidup — bukan sekadar dokumen tertib.
Guru bukan hanya pengajar; ia adalah pelita zaman.
Ketika lampu-lampu itu padam oleh lelah dan kurang penghargaan,
gelaplah masa depan kita, betapa pun banyak kurikulumnya.
Kita tidak menuduh siapa pun,
karena semua pihak sejatinya sedang berjuang di tengah arus zaman.
Namun perjuangan tanpa kesadaran bisa kehilangan arah.
Maka biarlah pendidikan kita kembali meneguhkan pijakan:
ilmu adalah ibadah, sekolah adalah ladang, dan anak adalah benih bangsa.
Mari kita tanamkan benih itu dengan kesabaran,
siram dengan kasih, dan teduhkan dengan doa.
Bukan karena ingin terkenal,
tetapi karena kita tahu: waktu tak bisa diulang,
dan generasi tak bisa dicetak dua kali.
Bila orator politik bersuara di panggung,
biarlah pendidik bersuara di hati bangsa.
Sebab suara guru, meski lirih, adalah gema masa depan.
Dari ruang kelas yang sederhana, lahirlah peradaban.
Dari hati yang tulus, lahir arah bagi negeri.
Dan pada pagi ini —
semoga setiap insan pendidikan, dari dinas hingga ruang PAUD,
dapat menegakkan kepala dan berbisik dalam hati:
“Kami tidak sedang bekerja demi laporan,
kami sedang menanam masa depan bangsa.”
Bedi Budiman










