Oleh: [Bedi Budiman]
Di tengah sejuknya udara Cianjur, ada suara yang perlahan hilang — desir daun dan gemerisik hutan yang dulu menenangkan kini tergantikan oleh kebisingan mesin dan deru pembukaan lahan. Data Global Forest Watch mencatat hilangnya sekitar 10.500 hektare tutupan pohon sejak 2001 hingga 2024. Angka ini mungkin tampak kecil dibanding klaim liar 77.000 hektare, namun di lapangan, luka ekologinya nyata dan terasa.
Aktivis seperti Bedi Budiman dan Nendi Runendi telah melihat langsung perubahan itu: pohon tinggi berganti ladang, lereng menghijau berubah gersang, sumber air perlahan mengering. Dalam bahasa mereka yang sederhana, “ini bukan sekadar data — ini hidup yang perlahan terkikis.”
Kerusakan lingkungan tidak pernah berdiri sendiri. Ia adalah hasil dari serangkaian keputusan manusia: konversi lahan tanpa kendali, penebangan selektif, infrastruktur tanpa keseimbangan, dan kebijakan yang longgar terhadap izin. Semua itu berpadu dalam satu pola: pengabaian terhadap keseimbangan alam.
Kini, Cianjur bukan hanya kehilangan pohon, tapi juga kehilangan lapisan perlindungan dari bencana. Longsor, erosi, dan kekeringan bukan lagi ancaman di kejauhan, melainkan kenyataan tahunan. Air yang dulu berlimpah di kaki gunung, kini menjadi barang mahal di musim kemarau.
Karena itu, tuntutan para aktivis bukan sekadar protes, melainkan panggilan nurani:
buka data izin lahan, audit kawasan kritis, hentikan izin baru yang merusak, dan pulihkan hutan bersama warga.
Transparansi bukan ancaman bagi pemerintah, tapi jalan menuju kepercayaan publik.
Alam tidak bisa menunggu. Ia memberi peringatan lewat tanda-tanda: tanah retak, air surut, udara panas. Bila kita tetap diam, kita akan belajar dengan cara paling pahit — saat yang hilang tak bisa lagi dikembalikan.
Cianjur masih punya harapan, selama manusianya mau belajar bahwa hutan bukan sekadar ruang hijau, tapi penjaga kehidupan. Dan menjaga hutan bukan tugas segelintir aktivis, melainkan tanggung jawab seluruh generasi.










