banner 728x250

“Hukum, Keadilan, dan Luka Psikologis Masyarakat”

banner 120x600
banner 468x60

📰 OPINI TERBUKA

 

 

🖋️ Oleh: Nendi Runendi, S.H.

Ketua Umum Bicara Benteng Independen Cianjur Raya

 

 

 

Di tengah hiruk pikuk kehidupan sosial dan hukum yang kian kompleks, kita sering lupa bahwa hukum bukan hanya pasal, melainkan cermin dari jiwa masyarakat. Ia lahir dari rasa, dari pengalaman panjang manusia mencari keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara kebebasan dan tanggung jawab.

 

Namun, ketika hukum kehilangan ruhnya, keadilan menjadi barang langka. Ia tidak lagi berdiri di tengah, melainkan condong kepada mereka yang punya kuasa, harta, atau akses. Inilah titik di mana filsafat hukum dan psikologi masyarakat saling bersentuhan—karena di balik setiap keputusan hukum yang tidak adil, selalu ada luka batin sosial yang mengendap di hati rakyat.

 

🔹 Hukum sebagai Cermin Nurani Kolektif

 

Filsafat hukum mengajarkan bahwa hukum sejati adalah “ratio yang berjiwa” — akal yang menyatu dengan nurani. Jika hukum hanya menegakkan teks tanpa rasa, maka ia berubah menjadi alat kekuasaan.

Sebaliknya, bila hukum menolak kebenaran demi kepentingan tertentu, maka ia kehilangan legitimasi moralnya.

 

Rakyat kecil bukan menolak hukum, mereka menolak ketimpangan rasa keadilan. Mereka haus akan kehadiran hukum yang memeluk, bukan menghukum; hukum yang mengayomi, bukan menindas.

Keadilan yang sejati bukan hanya tentang siapa benar dan siapa salah, tetapi tentang siapa yang didengarkan dan siapa yang diabaikan.

 

🔹 Psikologi Masyarakat yang Terluka

 

Ketika rakyat merasa hukum tidak berpihak, lahirlah ketidakpercayaan. Ini bukan sekadar masalah moral, tetapi trauma sosial.

Psikologi masyarakat yang terus-menerus disakiti oleh ketidakadilan akan menciptakan dua reaksi ekstrem: ketakutan untuk melawan, atau kemarahan yang membabi buta.

Keduanya berbahaya, karena membuat hukum kehilangan wibawa, dan masyarakat kehilangan harapan.

 

Oleh karena itu, pemulihan hukum harus dimulai dari pemulihan rasa percaya. Negara tidak cukup hanya membentuk lembaga; ia harus membangun empati.

Penegak hukum tidak cukup memakai toga atau seragam; ia harus membawa kesadaran bahwa di balik setiap berkas perkara, ada manusia, keluarga, dan air mata.

 

🔹 Keadilan yang Bernapas

 

Keadilan bukan abstraksi; ia hidup di tengah denyut masyarakat.

Ia berwujud pada sikap polisi yang jujur, jaksa yang tidak berkhianat pada nurani, hakim yang berani menolak tekanan, dan advokat yang tidak menjual idealisme.

Keadilan yang bernapas bukan keadilan yang kaku, tetapi keadilan yang tumbuh dari kasih dan kebenaran.

 

Dalam pandangan saya, hukum yang benar adalah hukum yang mampu menyembuhkan — healing law.

Ia tidak hanya memutus, tapi juga memulihkan; tidak hanya menegakkan, tapi juga menginsafkan.

Sebab, tanpa penyembuhan sosial, keadilan hanya menjadi slogan kosong yang menggantung di dinding ruang sidang.

 

 

 

🔹 Penutup: Saatnya Hukum Kembali ke Hati

 

Hukum tanpa keadilan hanyalah instrumen kekuasaan.

Keadilan tanpa nurani hanyalah formalitas dingin.

Dan masyarakat tanpa harapan hukum hanyalah kumpulan luka yang menunggu waktu untuk meledak.

 

Maka, mari kita kembalikan hukum ke hati, ke nilai kemanusiaan yang universal.

Karena sesungguhnya, hukum bukan tentang siapa yang kuat, tetapi tentang siapa yang benar.

Dan keadilan yang sejati adalah ketika rakyat kecil merasa dilihat, didengar, dan dilindungi.

 

 

 

✍️ Nendi Runendi, S.H.

Ketua Umum Bicara Benteng Independen Cianjur Raya

 

 

 

 

✨ “Hukum tanpa rasa adalah kekuasaan,

rasa tanpa hukum adalah kekacauan,

tetapi hukum dengan nurani adalah keadilan.” ✨

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *