banner 728x250

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur: “Anak-anak Harus Tumbuh dengan Rasa Ingin Tahu, Bukan Sekadar Mengejar Nilai”

banner 120x600
banner 468x60

Cianjur — Dalam refleksi pendidikan yang digelar di tengah upaya peningkatan mutu sekolah menengah, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur menekankan pentingnya menjaga rasa ‘wonder’ atau keajaiban belajar dalam diri anak-anak. Menurutnya, pendidikan sejati bukan hanya membentuk kepintaran, tetapi juga mengasah karakter, logika, dan jiwa yang utuh.

“Anak-anak jangan kehilangan rasa kagumnya terhadap hidup,” ujarnya dalam sebuah pertemuan reflektif bersama para pendidik dan tokoh masyarakat. “Pendidikan harus menjadi proses penempaan, bukan perlombaan. Di situlah nilai kemanusiaan dan kebijaksanaan tumbuh.”

Pandangan ini sejalan dengan filosofi Maria Montessori, yang menekankan bahwa anak usia sekolah menengah sedang berada pada tahap “pembangunan jiwa rasional” — masa di mana mereka mulai mencari makna, bukan sekadar hafalan. Montessori percaya, bila anak diberi kebebasan untuk belajar dengan rasa ingin tahu dan tanggung jawab, maka mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang berdaya cipta dan beretika.

Sementara itu, Rollo May, seorang psikolog eksistensial, menyebut pendidikan sebagai tempat di mana keberanian anak diuji. Ia menulis bahwa “tanpa keberanian untuk belajar dan gagal, anak kehilangan makna menjadi manusia.” Dalam konteks ini, sekolah seharusnya menjadi ruang aman bagi anak untuk berani berpikir, merasa, dan mencoba — bukan sekadar takut salah.

Dari sisi sastra dan spiritualitas, Paulo Coelho menegaskan bahwa setiap anak adalah “penjelajah takdirnya sendiri.” Pendidikan yang baik, menurutnya, adalah yang membantu anak menemukan panggilan jiwanya, bukan menutupinya dengan standar yang kaku.

Namun, Kepala Dinas Pendidikan Cianjur juga menekankan pentingnya disiplin berpikir dan pengendalian logika, sebagaimana diajarkan Seneca, filsuf Stoik dari Romawi.
“Logika adalah pagar agar kebebasan tidak menjadi kekacauan,” ujarnya.
Ia menambahkan, “Kita boleh bermimpi setinggi langit, tapi kita harus melangkah dengan akal yang terarah dan hati yang tenang.”

Dalam refleksi itu, ia juga menyinggung pemikiran Niccolò Machiavelli, bukan dalam arti politik yang keras, melainkan dalam konteks realisme pendidikan.
“Machiavelli mengingatkan kita bahwa idealisme tanpa strategi hanya akan menjadi retorika. Maka pendidikan harus membumi — mengajarkan anak cara berpikir kritis, memahami realitas, dan tetap memegang nilai moral.”

Lebih lanjut, Kepala Dinas menegaskan bahwa semangat pendidikan karakter tidak hanya hidup di sekolah formal, tetapi juga harus menyatu dalam pendidikan nonformal, terutama PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) yang berperan sebagai ruang belajar kedua bagi masyarakat.

“PKBM adalah wadah yang membuktikan bahwa belajar tidak mengenal batas usia, waktu, atau latar belakang. Di sana, semangat ingin tahu dan ketulusan belajar justru tumbuh lebih murni,” ujarnya.

Ia menilai, PKBM memiliki misi luhur yang sejalan dengan filosofi pendidikan sebagai penempaan jiwa. Di PKBM, proses belajar sering kali terjadi secara alami — antara pengalaman hidup, nilai moral, dan kesadaran sosial.

“Anak-anak dan warga belajar di PKBM bukan hanya mencari ijazah, tapi mencari arah hidup. Di sinilah pendidikan menjadi alat pembebasan, bukan sekadar formalitas,” tambahnya.

Menurutnya, PKBM harus terus bertransformasi menjadi laboratorium karakter dan kemandirian masyarakat, tempat nilai-nilai ekologi, sosial, dan budaya ditanamkan secara kontekstual. Pendidikan nonformal dapat menjadi fondasi bagi pembentukan generasi yang tidak kehilangan rasa ingin tahu, sekaligus memahami nilai tanggung jawab terhadap sesama dan lingkungan.

“Cianjur punya potensi besar untuk menjadi ikon keberhasilan pendidikan — bukan hanya di ruang kelas, tapi di tengah kehidupan masyarakatnya. Ketika pendidikan formal dan nonformal berjalan beriringan, kita tidak hanya mencetak siswa cerdas, tapi juga warga yang berjiwa bijak,” ucapnya.

Ia menutup refleksi dengan kalimat yang menenangkan,

“Ketika pendidikan kembali menjadi perjalanan jiwa, bukan beban kurikulum, maka Cianjur akan menjadi tanah subur bagi lahirnya generasi berkarakter, berakal budi, dan berjiwa sosial.”

Bedi Budiman

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *