Dalam riuhnya pembangunan dan derasnya arus modernisasi, masih ada suara yang mengingatkan kita tentang keseimbangan: suara alam, suara nurani. Suara itu kini kembali digaungkan oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Cianjur, yang berkomitmen menjaga dan melestarikan lingkungan dari segala aspek — agar Cianjur terbebas dari pencemaran dan tetap menjadi tanah yang menumbuhkan kehidupan, bukan merusaknya.
Melalui berbagai langkah dan kebijakan, Dinas Lingkungan Hidup Cianjur berupaya memadukan pendekatan teknis, sosial, dan spiritual, karena menjaga alam bukan sekadar urusan administratif, melainkan tugas moral dan amanah Ilahi.
Sebagaimana termaktub dalam firman Allah:
“Dia telah memperbaiki bumi ini untukmu, maka janganlah kamu merusaknya.”
(QS. Al-A’raf: 56)
Dalam konteks budaya Sunda, alam bukan benda mati — ia adalah hirup nu ngahudang rasa, bagian dari diri yang harus dihormati. Falsafah “leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak” (hutan rusak, air habis, manusia sengsara) menjadi peringatan batin bahwa kerusakan lingkungan berawal dari rusaknya kesadaran manusia.
Secara psikologis, masyarakat yang menjaga kebersihan dan keseimbangan alam akan lebih damai, sehat, dan berempati terhadap sesama. Sebaliknya, pencemaran dan keserakahan adalah cermin dari jiwa yang kehilangan arah, haus materi tapi kering rasa.
Melalui semangat kolektif dan kesadaran kultural ini, Dinas Lingkungan Hidup Cianjur terus berikhtiar menumbuhkan gerakan moral lingkungan — bukan sekadar melalui program, tapi lewat teladan dan komunikasi yang menyentuh hati masyarakat. Karena cinta lingkungan sejatinya adalah cinta terhadap kehidupan itu sendiri.
“Jika kita jaga bumi dengan hati, maka bumi pun akan menjaga kita.”
Dengan kesadaran bersama, mari jadikan setiap langkah pembangunan di Cianjur bernafaskan tanggung jawab ekologis dan spiritual — agar udara tetap jernih, air tetap suci, dan hati manusia tetap bening.
BB










