Oleh: Bedi Budiman, S.H. – Wakil Ketua Umum YLBH Pojok Kesetaraan Masyarakat
Desa adalah miniatur republik. Di sanalah kejujuran diuji, kekuasaan diuji, dan hukum menemukan wujud sejatinya: bukan sekadar aturan, tapi penjaga harmoni kehidupan.
Di tubuh pemerintahan desa, riak kecil sering kali dianggap angin lalu. Padahal, bila dibiarkan tanpa kendali etika dan hukum, riak itu dapat menjelma menjadi badai sosial yang menghancurkan kepercayaan publik. Banyak yang mengaku berjuang atas nama rakyat, padahal di balik slogan itu bersembunyi ambisi pribadi dan nafsu kuasa. Di titik inilah hukum diuji bukan di pengadilan, tapi di nurani.
Sebuah desa akan kokoh jika tata kelola dan kesadaran hukumnya tumbuh bersama rakyat. Aparatur desa bukan penguasa, melainkan pelayan. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menegaskan bahwa pemerintahan desa wajib berlandaskan asas rekognisi, subsidiaritas, dan demokrasi — yang artinya setiap keputusan harus berpihak pada kepentingan bersama, bukan pada gengsi kelompok.
Namun, kenyataan di lapangan sering berbeda. Dana Desa (ADD), BUMDes, dan program masyarakat kadang terjerat pada praktik ketidakterbukaan. Pasal 24 huruf (a) dan (d) UU Desa jelas menyebut bahwa asas akuntabilitas dan transparansi wajib dijaga. Bila itu diabaikan, maka wibawa desa runtuh, dan rakyat kehilangan arah moral hukum.
“Silih asah, silih asih, silih asuh”
bukan hanya pepatah, melainkan sistem hukum sosial yang mengajarkan kesetiaan pada kebenaran, kasih dalam tindakan, dan saling menjaga dalam kehidupan.
Inilah hukum yang hidup — hukum kesemestaan.
Maka langkah tegas bukan pilihan, tapi kewajiban:
1. Audit sosial dan hukum terhadap setiap anggaran desa.
2. Penegakan kode etik aparatur desa berdasarkan Permendagri Nomor 83 Tahun 2015.
3. Pendidikan hukum masyarakat desa, agar rakyat paham hak dan kewajibannya tanpa jadi korban politik praktis.
Masyarakat pun perlu kembali pada peran sejatinya. Petani menanam dengan hati, pedagang berdagang dengan jujur, dan tokoh desa menjadi penuntun moral, bukan pemantik konflik. Karena dalam hukum kesemestaan, siapa yang mengkhianati keseimbangan akan menuai kejatuhan dari tangan alam dan nurani sendiri.
Desa bukan arena politik, melainkan taman kehidupan.
Siapa pun yang mencoba menungganginya demi kepentingan pribadi sedang mempermainkan kesucian rakyatnya sendiri.
Hukum akan datang bukan dengan amarah, tapi dengan keadilan yang tak dapat dielakkan.
“Riak kecil yang dibiarkan akan menjadi gelombang yang menelan siapa pun yang bermain di permukaannya.”
Maka, jangan tunggu badai baru sadar pentingnya payung hukum. Jagalah desa dengan kesadaran, karena hukum tanpa moral hanyalah bayang-bayang kekuasaan.
Tentang Penulis
Bedi Budiman, S.H.
Wakil Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Pojok Kesetaraan Masyarakat)
Aktif dalam pembinaan hukum desa, pemberdayaan masyarakat, dan penguatan kesadaran hukum berbasis budaya lokal.
Melalui pendekatan Hukum Kesemestaan dan Nilai Sunda Wiwitan, ia menegaskan bahwa keadilan sejati lahir dari keseimbangan antara akal, rasa, dan amanah.




 
							





