banner 728x250

Narasi Reflektif: “Cianjur, Katalanjuran yang Menjadi Peringatan”

banner 120x600
banner 468x60

Oleh : Nendi Rafael

 

Cianjur bukan sekadar nama daerah, tapi satu napas dari keseimbangan alam dan budi manusia. Dalam tutur orang tua dahulu, terselip istilah “Cianjur katalanjuran” — sebuah sindiran lembut, namun kini terasa seperti nubuat yang jadi kenyataan.

Kita terlalu lancang kepada alam. Gunung dipotong, sungai disumbat, hutan digunduli. Alam yang dahulu menjadi ibu, kini menjadi saksi dari keterlaluan anak-anaknya sendiri.

 

Gempa demi gempa yang mengguncang Cianjur seolah bukan sekadar peristiwa geologis, tapi juga pesan moral yang mengetuk nurani. Bahwa setiap retakan tanah adalah gema dari kelalaian manusia menjaga keseimbangan ciptaan Tuhan.

 

Ironinya, ketika bencana datang, masyarakat sering tidak tahu harus berbuat apa. Tidak ada pendidikan evakuasi yang memadai, tidak ada kesadaran mitigasi yang dibangun sejak dini. Padahal keselamatan bukan sekadar urusan materi, tapi amanah kemanusiaan.

 

Cianjur seharusnya menjadi sekolah besar tentang kebijaksanaan hidup selaras dengan alam. Dari sawah, hutan, dan pegunungan, kita bisa belajar arti kesabaran, kejujuran, dan batas-batas yang harus dihormati.

 

Saya bukan hendak mencari panggung. Saya hanya ingin menyalakan kembali pelita kecil di tengah kegelapan abai dan ketidakpedulian. Sebab darah saya, akar saya, dan nurani saya, berasal dari tanah Cianjur yang kini meminta kita semua untuk kembali pada keseimbangan.

 

Sudah saatnya stakeholder, pemerintah, dan masyarakat berjalan beriring: bukan saling menyalahkan, tapi saling menguatkan. Alam tidak butuh kita untuk bertahan hidup — justru kita yang butuh alam untuk tetap hidup.

 

Mari jadikan setiap gempa bukan sekadar trauma, tapi tanda kebangkitan kesadaran.

Dari Cianjur, untuk Indonesia yang lebih beradab terhadap bumi dan Sang Pencipta.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *