banner 728x250

Nendi Runendi SH,MM: “Tumbuhnya Anak Harus Dijaga, Bukan Dihukum — Hukum dan Pendidikan Harus Sejiwa”

banner 120x600
banner 468x60

Nendi Runendi SH,MM: “Tumbuhnya Anak Harus Dijaga, Bukan Dihukum — Hukum dan Pendidikan Harus Sejiwa”

Cianjur,15 Oktober 2025 — Pemerhati sekaligus aktivis pendidikan, Nendi Runendi, menyoroti pentingnya pendekatan psikologis dalam menegakkan hukum yang menyangkut perkembangan anak. Menurutnya, di tengah meningkatnya kasus kekerasan, kenakalan, dan kriminalisasi anak, bangsa ini sering lupa bahwa anak bukan objek hukum semata, melainkan subjek yang sedang tumbuh mencari makna dirinya.

“Anak yang berbuat salah bukan selalu nakal, kadang hanya belum menemukan cara yang benar untuk menyalurkan potensinya. Maka hukum anak harus didasarkan pada pemahaman psikologi perkembangan, bukan sekadar pembalasan,” ujar Nendi Runendi dalam diskusi pendidikan karakter di Cianjur, Rabu (15/10/2025).

Perspektif Psikologi Rollo May: Manusia Bukan Mesin, Anak Bukan Objek

Nendi mengutip pemikiran Rollo May, psikolog eksistensial asal Amerika, yang menekankan bahwa setiap individu memiliki dorongan eksistensial untuk menjadi dirinya sendiri (the courage to create). Dalam pandangan May, manusia bukan sekadar makhluk yang bereaksi terhadap lingkungan, melainkan makhluk yang berjuang memberi makna pada hidupnya melalui kebebasan dan tanggung jawab.

“Dalam diri setiap anak ada benih keberanian untuk menjadi diri sendiri. Jika kita hanya menghukumnya tanpa memahami konteks batinnya, maka kita mematikan potensi yang sedang tumbuh,” tegas Nendi.

Pendekatan Rollo May menekankan keberanian (courage) sebagai dasar perkembangan psikologis yang sehat — keberanian untuk memilih, gagal, mencoba lagi, dan menemukan nilai hidup. Namun, dalam sistem pendidikan dan hukum anak di Indonesia, sering kali yang tumbuh justru rasa takut, bukan keberanian.

Hukum dan Tumbuh Kembang Anak: Antara Perlindungan dan Pemahaman

Menurut Nendi, pendekatan hukum terhadap anak harus berlandaskan prinsip perlindungan dan pembinaan, sebagaimana diatur dalam:

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), dan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Kedua undang-undang tersebut menegaskan bahwa proses hukum terhadap anak harus mengedepankan keadilan restoratif (restorative justice), bukan pembalasan. Artinya, yang diutamakan adalah pemulihan hubungan sosial dan psikologis, bukan penghukuman fisik atau stigmatisasi.

“Anak yang bersalah tetap harus bertanggung jawab, tapi tanggung jawab itu perlu diarahkan — bukan ditindas. Negara wajib hadir bukan hanya dengan sanksi, tapi dengan empati dan pembinaan,” jelas Nendi.

Ia menilai bahwa dalam praktiknya, banyak aparat dan lembaga pendidikan belum memahami makna psikologis dari keadilan restoratif. Anak yang berbuat salah sering diperlakukan seperti pelaku dewasa, padahal secara psikologis ia masih dalam fase mencari arah hidup dan identitas diri.

Krisis Empati dalam Pendidikan

Rollo May menyebut bahwa krisis terbesar manusia modern adalah kehilangan rasa berarti dan empati. Hal itu juga terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia.
Anak-anak dibentuk untuk taat, bukan mengerti. Mereka diajarkan untuk takut salah, bukan berani berpikir.

“Ketika sistem pendidikan membungkam rasa ingin tahu dan menggantinya dengan rasa takut, maka sekolah telah kehilangan jiwa pendidikannya. Dari sanalah muncul generasi yang patuh tapi tidak peduli,” tutur Nendi dengan nada prihatin.

Menurutnya, hukum dan pendidikan seharusnya berjalan sejiwa — hukum menjaga batas, pendidikan menumbuhkan kesadaran. Jika keduanya terpisah, maka anak akan hidup dalam ketakutan: takut dihukum, takut gagal, dan akhirnya kehilangan arah nilai.

Filsafat Kemanusiaan dan Harapan Baru

Nendi Runendi menutup refleksinya dengan mengingatkan bahwa pendidikan sejati adalah pembimbingan jiwa, bukan sekadar pengajaran isi kepala.
Ia mengutip semangat Rollo May bahwa keberanian adalah inti eksistensi — tanpa keberanian, manusia tak akan tumbuh; tanpa empati, hukum kehilangan nurani.

“Anak-anak hari ini sedang belajar menjadi manusia. Maka kita — pendidik, orang tua, dan penegak hukum — harus menjadi teladan keberanian, bukan ketakutan. Karena dari situlah lahir peradaban yang manusiawi,” pungkasnya.

Catatan Redaksi

Pandangan Nendi Runendi mempertemukan tiga ranah penting: pendidikan, psikologi eksistensial, dan hukum anak. Sebuah perspektif yang mengingatkan kita bahwa menegakkan hukum bagi anak bukan sekadar urusan sanksi, tetapi bagian dari tanggung jawab moral bangsa dalam menumbuhkan manusia seutuhnya.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *